Pertengahan bulan Oktober ini, salah satu merk raksasa industri Indonesia mengeluarkan berita duka. PT Sariwangi AEA diputuskan mengalami pailit, alias bangkrut karena tidak dapat membayar utangnya. Jangan khawatir, merk Sariwangi bakal tetap beredar di pasaran karena brand Sariwangi sudah dibeli Unilever. Akan tetapi pabrik dan perusahaan originalnya lah yang mengalami kebangkrutan. Jadi, apakah sudah saatnya perusahaan-perusahaan tua untuk move on? Seperti kata-kata Ben Solo dalam Star Wars The Last Jedi:
It's time to let old things die.
Sudah waktunya membiarkan yang tua untuk mati...?
Di internet, salah satu cara untuk
menjadi viral adalah dengan mngupload foto atau video dengan caption “Masih ingat yang satu dengan ini? Anak zaman
now nggak bakal tahu...” Yap! Nostalgia adalah ide pamungkas untuk
mendongkrak jalan menuju ketenaran. Nggak hanya netizen haus like, bahkan
perusahaan film besar juga merilis ulang merk-merk lama mereka. Star Wars ada
sequel baru, Disney banyak mengangkat film atau dongeng lama seperti Beauty and
the Beast, Incredibles 2 yang akhirnya ada lanjutan, sampai Aladdin. Indonesia
juga gak kalah ketinggalan. Ada film-film dengan judul familiar seperti
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang diangkat dari novel Buya Hamka, adaptasi
baru Si Doel, Wiro Sableng, sampai tokoh fenomenal Suzzanna.
Perusahaan hiburan dan digital memang
mengambil banyak keuntungan, ini nggak berlaku bagi perusahaan industri real
dengan produk konsumsi yang nyata pula. Sudah bukan kabar mengejutkan lagi
ketika perusahaan-perusahaan lama gulung tikar. Dan penyebabnya pun itu-itu
saja. Produk yang kurang inovasi, kurang branding,
dan manajemen kelola keuangan yang buruk.
Sebuah quotes sederhana yang
disampaikan oleh petinggi Nokia saat mengumumkan kejatuhannya menjelaskan
banyak hal mengenai persaingan era industri 4.0.
“Kami tidak melakukan kesalahan apapun, tapi kami kalah.”
Saat itu Nokia menolak menggunakan OS Android dan tetap
kukuh dengan pendiriannya yang lama. Alhasil, semakin berkembangnya Android
menjadi momen kejatuhan Nokia sebagai sebuah merk dan perusahaan. Nokia tidak
bisa menyesuaikan diri untuk memuaskan konsumennya, ia terjebak dengan masa
lalu. Sama seperti Kodak yang menolak menggunakan teknologi digital. Mereka
adalah contoh perusahaan yang tidak move
on mengikuti zaman.
Pos Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang
mengalami adaptasi karena perubahan zaman. Dari sekadar usaha pengiriman surat
dan barang, kantor pos kini juga melayani berbagai macam layanan seperti
transfer uang, pembayaran air dan listrik, dan lainnya.
Merangkul gaya baru, pengemasan baru, dan produk-produk
baru merupakan kunci dalam menghadapi derasnya perubahan di era ini. Produk
bulan lalu bisa jadi tidak menarik lagi bagi konsumen. Maka diperlukan
cara-cara inovatif untuk terus menjalankan perusahaan. Entah memperbarui
kemasan, branding dengan metode baru, hingga produk-produk yang benar-benar
baru untuk mengambil pasar yang baru juga. Semua harus dilakukan perusahaan untuk
tetap bertahan dan tidak hanya mengandalkan nama besar. Karena perusahaan (yang
dulunya) besar seperti Sariwangi dan Nyonya Meneer pun bisa bangkrut. Bukan
salah konsumen apabila mendapatkan produk lain sebagai produk yang lebih baik,
praktis, dan efisien. Karena konsumen adalah raja.
Sehingga move on
adalah satu-satunya cara untuk terus move
dan tetap on dalam pasar
persaingan era industri 4.0.