(Sumber:
kapanlagi.com)
Surabaya
– Ranah perfilman Indonesia terus menunjukkan perbaikan dari masa ke masa.
Mulai dari efek visual, tata suara, kostum, editing, jalan cerita, hingga ke
distribusi film semuanya menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik.
Namun dibalik itu semua ada hal menarik yang menonjol dan dapat menjadi bahan berpikir
tidak hanya bagi pihak pembuat film namun juga pemirsa sekalian. Yaitu pola
yang menunjukkan bahwa perfilman sedang asyik bernostalgia.
Peluncuran film Dilan 1990 (2018) yang
menembus angka 6 juta penonton membuat sebagian masyarakat bertanya-tanya
mengapa film sederhana dengan budget yang juga tidak terlalu mewah dapat
populer sedemikian rupa. Karakter yang unik dan kaya? Editing dan pengambilan
gambar? Para aktor yang menarik? Atau mungkin karena latarnya yang sangat
memberikan nostalgia. Baik secara tempat, waktu, maupun suasana.
Coba kita mundur lebih jauh ke film
Warkop DKI Reborn (2016) yang angka penontonnya sefantastis Dilan 1990. Apa
yang membuatnya sukses kalau bukan karena nostalgia tokoh-tokoh lama yang
karakternya kembali dihidupkan? Bahkan belakangan, layar Indonesia juga
diserang dengan sederetan film yang “nostalgia banget”. Si Doel The Movie dan
Wiro Sableng 212 merupakan dua nama menonjol yang sama-sama berangkat dari acara
televisi populer. Ada juga film Kafir: Bersekutu dengan Setan yang membawa nama
film Kafir dari tahun 2002. Pola tersebut juga terlihat di film bertema horor
lain yaitu The Secret: Suster Ngesot Urban Legend yang memiliki nama serupa
dengan film Suster Ngesot tahun 2007.
Pola-pola reboot atau remake dari
sebuah film tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Film-film box office keluaran studio-studio
terkenal juga memanfaatkan efek nostalgia ini. Lihat saja film-film seperti
Star Wars Episode VII (2015), Terminator Genisys (2015), dan Jurassic World
(2015) merupakan kisah-kisah baru yang berangkat dari latar film-film terdahulu
yang notabene telah memiliki nama. Studio Disney sebagai rumah produksi film
terbesar juga mengangkat kisah dongeng-dongeng pengantar tidur yang akrab di
telinga masyarakat luas sebagai pemikat. Tangled (2010), Beauty and The Beast
(2017), sampai film teranyar yang akan dirilis akhir tahun ini yaitu The
Nutcracker and the Four Realms merupakan kisah-kisah klasik para anak-anak
dunia barat.
Berangkat dari suatu cerita klasik
atau telah populer sebelumnya merupakan satu jalan dari sekian banyak jalan
membuat naskah film. Ada tantangan tersendiri dalam menggarapnya yaitu dalam
rangka memenuhi atau bahkan melampaui ekspektasi penonton. Yang apabila film
tersebut sukses merupakan suatu pencapaian yang luar biasa, terlebih bagi
perfilman Indonesia.
Nostalgia memang merupakan sarana
ampuh dalam memikat minat penonton. Terlebih idenya mudah dimodifikasi dan
cepat dalam publikasi. Namun jangan sampai nostalgia menjadi jebakan dunia
perfilman untuk terus memakai pola yang sama. Apabila suatu cerita harus tamat,
maka tamatlah dengan bergaya dan penuh apresiasi.
Seri film The Dark Knight garapan Christopher
Nolan selamanya akan dikenang sebagai salah satu live action dari karakter Batman yang terbaik karena Nolan memang
sudah mantap dengan akhir dari seri film tersebut. Jangan sampai terjadi blunder seperti seri film Transformer yang
terus menerus dimanfaatkan latar dan karakternya hanya demi keuntungan semata.
Akibatnya bahkan dapat merusak citra suatu seri film dan sulit untuk
mengembalikannya.
Masalah ini juga kembali kepada para
penonton tentang bagaimana pikiran mereka agar bisa terbuka terhadap tema-tema
baru dalam perfilman, khususnya perfilman Indonesia. Bagaimana apresiasi
terhadap film-film original dapat menjadi lebih semarak. Hingga pada akhirnya,
perfilman Indonesia pun dapat berkreasi lebih luas tanpa takut kekurangan
penonton.
Nostalgia memang menyenangkan. Namun
bagi Anda para penonton dan produser film tidakkah ingin bertualang menyusuri
tempat-tempat baru, mengenal tokoh-tokoh baru, tenggelam dalam drama dan nuansa
asing yang belum dikenal sebelumnya?